Pramono Anung, rekan separtai Pak Laksamana Sukardi beberapa hari lalu berkomentar menanggapi usulan pemerintah mengganti sistem coblos dengan penulisan pada Pemilu 2009. ”Orang-orang yang buta huruf masih banyak. Ibu-ibu sepuh yang ada di pedesaan itu bagaimana? Hak mereka kan sama,” katanya. (http://galihhari.wordpress.com/2007/11/11/pemilu-2009-pencoblosan-diganti-penulisan-penolakan-pdip)Pada lingkup yang lebih kecil – IA-ITB – Sabtu besok akan ada pemilihan Ketua. Kabarnya sistemnya juga masih dengan pencoblosan. Ada yang beranggapan ini adalah hal lucu, mengingat bahwa alumnus ITB memiliki intelektualitas di atas rata-rata dan cenderung tidak mau tertinggal dalam penerapan teknologi.
Pernyataan ini bukanlah kritik belaka namun juga mengandung sedikit masukan yang mungkin masih kurang dipahami masyarakat. Di negara yang teknologinya maju, pemilu telah menggunakan alat canggih sehingga tidak perlu kertas lagi. Hal itu tentu tidak tepat diterapkan di Indonesia yang bukan negara kaya. Kalau ada yang mengusulkan, pasti akan ditolak Menkeu, apalagi Wapres.
Nah kira-kira apa yang tepat? Pemilu di Indonesia itu kan terorganisir dengan baik, isian pilihannya sudah terdefinisi dengan jelas karena telah diverifikasi. Artinya pemilih sebenarnya tidak perlu menulis, tetapi cukup dengan memberi tanda, misalnya tanda ‘v’ atau ‘x’. Data pilihan partai, caleg, maupun capres, dikodekan dalam angka maupun tidak, dapat diakuisisi dengan mudah menggunakan scanner berkecepatan 300 lembar per menit plus perangkat lunak DMR yang ditempatkan di setiap kota/kabupaten.
Kalau ingin yang lebih hemat tetapi cukup cepat, perhitungan kertas suara tetap secara manual di TPS, tetapi berita acara alias rekapitulasinya berupa form yang siap untuk di-scan, tidak lagi di-entry manual.
Mimpikah itu? Tidak! Itu semua sudah mungkin untuk dilakukan, tinggal apakah pengambil
kebijakannya melek teknologi atau tidak.
Mari kita saksikan…